Jumat, 08 Juli 2011

BIRU YANG MENENTRAMKAN

MEMBANGUN DEMOKRASI DENGAN PAYUNG ETIKA
Arenawati
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang Banten
Email : arena.dika@gmail.com, arenawatip@yahoo.com


ABSTRAK

Demokrasi adalah suatu sistem pemeritahan dimana kekuasaan terletak pada mayoritas rakyat dan pelaksanaannya dilakukan melalui wakil-wakil yang terpilih. Demokrasi tidak sekedar teori mengenai pemerintahan atau bernegara, tetapi juga pandangan hidup yang terkandung dalam dasar-dasar moral. Reformasi telah membuka kran demokrasi, sehingga setiap warga negara memiliki kebebasan untuk berpendapat, keterbukaan informasi publik, dan yang paling terlihat adalah dilakukannya sistem pemilihan kepala daerah langsung.Tak dipungkiri bahwa demokrasi dapat membawa perubahan kea rah pemerintahan yang lebih partispatif dan terbuka. Tetapi disisi lain harga demokrasi harus dibayar dengan mahal. Untuk sebuah pemilihan kepala daerah harus dibayar dengan trilyunan rupiah, namun yang lebih parah adalah bahwa kata “demokrasi” dijadikan alat untuk menjatuhkan lawan politis, melakukan tindakan anarkis. Sehingga demokrasi yang kita agung-agungkan berubah menjadi “democrazy” .Untuk itu demokrasi yang kita bangun harus dilandaskan pada etika dan moral. Pertama demokrasi berlandaskan pada keyakinan nilai dan martabat manusia, sehingga melahirkan keyakinan diri, intelegensia, diskriminasi etis dan apresiasi estetika. Kedua, kebebasan dalam demokrasi diperlukan guna pengembangan moral, intelektual dan spiritual. Ketiga, menggunakan payung hukum untuk meghindarkan dari nafsu, prasangka dan hak-hak istimewa. Keempat demokrasi berlandaskan pada azas persetujuan , dimana perlu adanya kontrol kerakyatan atas isu-isu kebijakan. Yang kelima demokrasi harus menepati prinsip perbaikan dan kemajuan. Dan yang keenam prinsip persamaan (concept of equality)Selain itu nilai-nilai etika seperti keadilan, persamaan hak, kejujuran, tidak KKN juga diterapkan oleh masyarakat, wakil rakyat, pemerintah, partai politik dan para penegak hukum.
Key Word : Demokrasi, Democrazy, Etika
1. PENDAHULUAN
Jatuhnya rejim Orde Baru pada tahun 1998, merupakan tonggak sejarahnya bangkitnya demokrasi di bumi Indonesia tercinta ini. Momentum ini telah membuka kran demokrasi di hampir semua bidang kehidupan. Masyarakat berada dalam eforia kebebasan, pers yang selama ini tersumbat menjadi corong informasi yang terbuka pada masyarakat, demonstrasi sudah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Reformasi ini telah memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk berbicara, menyatakan pendapat. Demokrasi dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai kebebasan untuk berbuat, masyarakat cenderung menjadi kebablasan, sehingga akhirnya menjadi anarki. Alih kata democracy berubah menjadi democrazy.
Demonstrasi yang berujung perusakan gedung milik pemerintah, pembakaran kendaraan dinas, bentrok antar warga, warga dan aparat, Konflik horizontal kerap mewarnai Pilkada seperti di Ambon, Tuban, jember dan lain-lain.Pemberitaan pers yang tidak berimbang , seringkali terlalu mendeskriditkan seseorang, sekelompok orang bahkan negara, menjadi pemicu demontrasi, konflik bahkan tindakan anarkis. Kesempatan berdemokrasi yang tidak dibarengi oleh pengetahuan demokrasi itu sendiri dan etika berdemokrasi inilah yang akhirnya berdampak anarki. Hal ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman berdemokrasi di kalangan elit maupun masyarakat awam.
Reformasi sistem pemerintahan dari sistem sentralistik menuju sistem desentralisasi yang nota bene mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, diwujudkan dengan pemberian otonomi daerah secara luas. Pada saat ini ternyata masih belum berdampak sisgnifikan pada peningkatan kehidupan masyarakat. Dibukanya kran demokrasi, kebebasan pers, maraknya diskusi, seminar dan menjamurnya LSM bukan jaminan bahwa kondisi akan semakin membaik, terutama dalam kehidupan berdemokrasi.
Tidak dipungkiri bahwa Reformasi tahun 1998 telah membawa banyak kebaikan dan perubahan fundamental dalam ketatanegaraan, terutama dengan dilahirkannya UU 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah , yang kemudian diperbaharui oleh UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 tahun 2004 ini telah membuka kesempatan kepada Daerah Otonom untuk mengelola, mengurus daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerahnya. Undang-Undang ini juga memberikan kesempatan pada daerah otonom untuk melakukan pemilihan kepala daerah dan Anggota DPRD secara langsung. Demokrasi di tingkat lokal ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat di setiap daerah otonom. Otonomi daerah diklaim dapat memajukan demokrasi, dalam artian otonomi daerah menjadikan pemerintah lebih dekat dengan masyarakat, menjadikan dukungan masyarakat lebih nyata, menyediakan kesempatan-kesempatan yang sungguh-sungguh bagi adanya partisipasi masyarakat dalam proses politik dan membantu terbangunnya kebijakan-kebijakan dan pelayanan-pelayanan jasa yang lebih responsif (Said,2005:23). Demokrasi menjanjikan peningkatan partsipasi masyarakat yang bermartabat, namun kenyataannya demokrasi di daerah yang diwujudkan dalam pemilihan kepala daerah langsung telah dinodai dengan politik uang, tekanan birokrasi, black campaign, calon kepala daerah yang tidak kredibel dan cenderung KKN, Panwaslu yang tidak netral dan kasus-kasus lain. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi belum berjalan sesuai dengan konsep demokrasi yang seharusnya . Demokrasi kita terpenjara oleh elit-elit politik nya yang berjiwa feodal sehingga tidak mampu menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas. Demokrasi kita bahkan hanya menjadi sarana formalisasi kekuasaan rejim yang sama (Ismanto, 2010 : 56).Demokrasi kita masih abal-abal dan tidak beretika,etika demokrasi ternyata tidak hanya untuk rakyat tetapi juga untuk pemerintah yang berkuasa, partai politik dan juga anggota dewan. Kesalahan bukan pada konsep demokrasi tetapi bagaimana cara kita berdemokrasi.
2. DEMOKRASI DAN ETIKA.
Istilah Demokrasi berasal dari bahasa latin “ demokratia”. “Demos” berarti rakyat dan “kratos” berarti pemerintahan. Jadi demokrasi dapat juga prinsip pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Istilah demokrasi memiliki banyak pengertian . Demokrasi dikatakan sebagai sebuah bentuk pemerintahan dimana hak untuk menetapkan keputusan politik dilaksanakan secara langsung oleh seluruh rakyat dengan menganut prinsip-prinsip mayoritas (direct democracy). Demokrasi juga digambarkan sebagai bentuk pemerintahan yang dilaksanakan melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih dan bertanggung jawab kepaada rakyat (representative democracy( Sulastomo, 2007:6).
Konsep lain tentang demokrasi menurut C.F. Strong : “ demokrasi adalah suatu system pemerintahan dalam mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yg menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu “(Saragih, 200:75). Dengan kata lain, negara demokratis didasari oleh system perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat . Bahwa dasar demokrasi dalam pikiran barat dikembangkan oleh tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yaitu menuju tercapainya keadilan sosial dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat yang diperoleh dengan cara mengedepankan kebebasan politik. Yang paling esensi dalam demokrasi adalah pemerintahan itu harus merepresentasikan aspirasi rakyat, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya di parlemen.
Demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari sila keempat , yaitu “ kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan “. Oleh karena itu demokrasi di Indonesia dikenal dengan prinsip “ permusyawaratan perwakilan”, permusyawaratan dari wakil-wakil rakyat. Disini peran DPRD menjadi sangat penting dalam perwujudan demokrasi. Namun demikian perwujudan demokrasi tidak hanya sebatas pelaksanaan pemerintahan dengan asas musyawarah dan mufakat oleh wakil rakyat. Tetapi demokrasi terkait dengan seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, tentang pelaksanaan hukum, kebijakan ekonomi suatu negara, hubungan manusia belum lagi terkait dengan kelembagaan. Implemetasi prinsip demokrasi dan etika demokrasi tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan demokrasi suatu bangsa.
Etika dan moral seringkali diartikan sama, etika sendiri berasal dari bahasa Yunani ethos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral (mores) diartikan sebagai cara hidup atau kebiasaan. Menurut The Liang Gie istilah etika dan moral bahwa keduanya sama, meskipun berasal dari dua istilah yang berbeda. Solomon (1987:2-18) menggariskan bahwa etika merujuk kepada dua hal. Pertama, etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya. Kedua etika merupakan pokok permasalahan di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia.
Manusia tidak dapat hidup sendiri, ia membutuhkan orang lain, oleh karena itu selain sebagai mahluk individu , ia adalah mahluk social. Aristoles menyebutnya dengan Zoon Politicon, mahluk yang senantiasa ingin hidup berkelompok. Dalam berhubungan dengan manusia lain harus ada norma yang mengatur, nilai-nilai apa yang digunakan, agar hubungan manusia dengan manusia lain berjalan dengan harmonis.Tujuan etika adalah memberitahukan bagaimana kita dapat menolong manusia didalam kebutuhannya yang riil yang secara susila dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu etika sosial tidak hanya mengharuskan pendalaman norma-norma sosial yang berlaku, tetapi juga tentang kebutuhan-kebutuhan manusia serta apa saja yang mendorongnya. Norma dalam etika sosial menjelmakan kewajiban manusia yaitu melakukan kebajikan (Kumorotomo, 1992 : 17-19).
Demokrasi tidak terlepas dari etika, karena demokrasi bukan sekedar teori atau konsep mengenai pemerintahan atau negara semata. Demokrasi juga merupakan teori tentang manusia dan masyarakat manusia. Demokrasi juga merupakan pandangan hidup yang secara esensial terkandung dalam dasar-dasar moral. Kumorotomo (1992:55-57) menjelaskan pertama, demokrasi berlandaskan pada keyakinan nilai dan martabat manusia (worth and dignity of man). Kebenaran mempunyai landasan kebaikan dan kebaikan adalah sesuatu yang dianggap bernilai bagi manusia. Karena manusia sebagai pribadi punya keyakinan diri, intelegensi, diskriminasi etis, apresiasi estetika dan karakteristik-karakteristik unik lainnya, maka ia merupakan tujuan dari nilai tersebut. Kedua, karena sifat dan nilai manusia, demokrasi mengandung implikasi adanya konsep kebebasan. Manusia harus bebas berfikir dan mengungkapkan pikiran maupun perasaannya. Kebebasan bukan miliki negara atau kelompok dalam masyarakat. Tidak boleh adanya pencengkeraman kebebasan individu. Akan tetapi sekalipun kebebasan tidak bersifat absolute, kebebasan yang tidak terkendali dapat mengarahkan konflik.
Persyaratan ketiga demokrasi adalah Rule of Law atau berdasarkan kepastian hukum , hal ini diwujudkan dengan manusia dapat menikmati kebebasan yang seluas-luasnya hanya apabila kebebasan tersebut tidak mengganggu kebebasan dan hak-hak orang lain. Demokrasi berada di tengah-tengah antara anarki dan tirani, tujuannya adalah keadilan, pemberian yang sepadan kepada setiap orang sesuai dengan hak-haknya. Aturan hukum hendaknya terhindar dari nafsu, prasangka dan hak-hak istimewa. Hukum bisa saja bersifat semena-mena dan tirani, atau mencerminkan kekuatan sekelompok mayoritas atau minoritas tertentu. Oleh karena itu demokrasi harus didasarkan pada asas persetujuan (principle of consent).
Menurut azas keempat, persetujuan ,demokrasi didasarkan pada pentingnya kontrol kerakyatan atas isu-isu kebijakan yang mendasar. Pemerintah harus memiliki kekuatan dan otoritas, tetapi kekuatan dan otoritas tidak boleh diselewengkan untuk kepentingan kelompok yang memiliki kekusaan. Asas persetujuan mensyaratkan kesediaan untuk memusyawarahkan perbagai persoalan. Prinsip kelima dari demokrasi adalah prinsip perbaikan (betterment) atau kemajuan (progress). Demokrasi hendak melangkah dari apa yang ada menuju apa yang seharusnya. Demokrasi ditujukan untuk peningkatan kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik dari masyarakat.. Demokrasi juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup manusia , perbaikan kondisi ekonomi, partisipasi dalam pembangunan dan politik, dan upaya-upaya penegakkan hukum.
Yang terakhir, demokrasi didasarkan pada prinsip persamaan (the concept of equality). Prinsip ini diharapkan dapat menjebol tembok-tembok kelas, agama, jenis kelamin, warna kulit dan ras dalam kebijakan-kebijakan sipil dan politis. Azas ini menentang adanya diskriminasi dalam segala hal, karena demokrasi menempatkan setiap warga negara memiliki kesamaan dalam hukum, pelayanan publik, berpolitik, berpendapat dan lain-lain. Keenam prinsip yang telah dijelaskan diatas ,tidak akan berjalan menuju demokrasi yang ideal tanpa keterlibatan dan dukungan masyarakat, pemerintah, penegak hukum dan DPRD. Oleh karenanya setiap komponen harus memiliki etika dalam berdemokrasi. Setiap komponen memiliki norma-norma dan nilai –nilai etika yang harus ditaati dalam berdemokrasi.


3. NILAI-NILAI ETIKA DALAM DEMOKRASI
Demokrasi pada hakikatnya adalah pengakuan terhadap perbedaan , sekaligus juga merupakan sebuah solusi mengatasi perbedaan itu sendiri. Karena apabila tidak dapat mengatasi perbedaan tersebut, dan membiarkan perbedaan menjadi semakin tajam, maka demokrasi akan menjadi anarki , atau “ democrazy”. Oleh karena itu demokrasi memerlukan etika, sebuah norma yang diakui bersama-sama, tanpa adanya norma yang mampu mengatasi perbedaan , makaa demokrasi akan gagal menyelesaikan permasalahan bangsa. Demokrasi akan menjadi sekedar impian ( Sulastomo, 2007 :23). Nilai etika demokrasi harus dimiliki oleh setiap warga negara, wakil rakyat, pemerintah (penguasa), partai politik dan penegak hukum.
Nilai etika pertama , harus dimiliki oleh warga negara adalah perilaku menjunjung tinggi terhadap perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari dituangkan dalam sikap menghargai keberadaan orang lain, tidak boleh merasa benar sendiri, pintar sendiri dan mau menang sendiri. Setiap warga juga harus memiliki kemampuan mengakomodir perbedaan dengan mengakui kebenaran orang lain, kemenangan orang lain, berani mengakui kesalahan dan kekalahan, tidak boleh menuduh hal-hal yang sifatnya tidak benar pada orang lain yang kebetulan berbeda pendapat dengan kita, curiga mencurigai satu sama lain. Terkait denga pilkada dan pemilu maka setiap penduduk tidak memilih wakil rakyat atau calon kepala daerah yang tidak kredibel, tidak menerima suap dari calon wakil rakyat atau kepala daerah, tidak merusak atribut partai yang bukan partai pilihannya, tidak mempengaruhi dan memaksakan orang lain untuk memilih calon yang sama dengan kita.
Nilai etika kedua adalah terkait nilai-nilai etis yang harus dimiliki oleh wakil rakyat, pada prinsipnya wakil rakyat berada di parlemen adalah sebagai wakilnya rakyat, maka hal utama yang harus dimiliki adalah mengutamakan kepentingan rakyat atau masyarakat banyak dibandingkan dengan kepentingan kelompok atau pribadi. Maka seorang wakil rakyat harus amanah, konsisten, tidak menerima suap atau apapun untuk kepentingan kelompok tertentu, jujur dan bertanggung jawab. Hal ini dapat di wujud selalu hadir tepat waktu dalam setiap sidang dan pada saat rapat, tidak tidur, internetan pada saat sidang, Terkait dengan pemilu dan Pilkada, bagi calon wakil rakyat tidak boleh money politik, tidak berbohong pada publik terkait pendidikan, latar belakang, menjelek-jelekkan lawan politik melalui black campaign .
Nilai etika bagi pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan dan pembuat kebijakan adalah membuat kebijakan yang mementingkan kepentingan masyarakat luas , selalu menampung aspirasi masyarakat, bertanggungjawab atas dana-dana publik, tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak memihak pada kelompok yang berkuasa, tidak membuat kebohongan publik, mengakui persamaan derajat, kedudukan dalam hukum bagi setiap warga negara, serta tidak mengesampingkan prinsip-prinsip Good Governance.
Partai Politik oleh pemerintah diharapkan dapat menghidupkan semangat demokratisasi di Indonesia., banyak pihak berharap akan terjadinya perbaikan sistem pemerintahan dengan terakomodasinya aspirasi masyarakat di daerah dalam kebijakan dan program pembangunan. Namun harapan tersebut masih menjadi wacana panjang untuk diralisasikan, karena yang kita lihat justru maraknya panggung-panggung politik praktis, baik di pusat maupun di daerah yang tidak membawa misi pembangunan untuk rakyat, melainkan lebih berorientasi pada kekuasaan dan jabatan (Astuti 2009 : 177). Fenomena jual beli partai menjadi suatu trend politik di pusat dan daerah, praktek komersialisme partai ini menyebabkan anggota partai di dewan bukanlah orang-orang yang berkualitas. Oleh karena itu untuk membangun demokrasi maka praktek komersialisme di tubuh partai harus dihapuskan, partai politik harus bertanggungjawab kepada anggota partai dan masyarakat, tidak memanfaatkan partai untuk kepentingan pribadi seseorang, partai politik harus amanah membawa aspirasi masyarakat, tidak meloloskan anggotanya yang tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan, menghargai pendapat anggota partai dan pendapat partai lain, tidak merasa partai yang paling benar, paling baik, melaksanakan pemilu dan pilkada dengan jujur dan adil, yang di implemtasikan dalam transparansi dana kampanye, tidak mencuri start kampanye, tidak membohongi publik, tidak money politik, tidak melakukan kampanye hitam, menerima kekalahan dengan legowo dan mengurangi fanatisme partai.
Penegakkan hukum adalah salah satu prinsip demokrasi yang harus dijalankan. Namun kadangkala proses penegakan hukum terkendala oleh pelaku penegakan hukum itu sendiri, yang tidak adil dalam memutuskan perkara. Beberapa masyarakat mengatakan bahwa hukum bisa dibeli, masalah suap sudah merupakan hal yang biasa. Bagaimana mungkin seorang penegak hukum yang menangani kasus korupsi, dia sendiri terlibat suap ! Untuk itu maka para penegak hukum harus menjadikan nilai-nilai etika dalam rangka perwujudan demokrasi. Nilai persamaan hak, keadilan, kejujuran diwujudkan dengan sikap tidak membedakan siapa yang menjadi terdakwa baik dalam pembelaan maupun dalam putusan pengadilan, tidak menerima suap, tidak kolusi dan nepotisme.
Selain menjadikan etika sebagai dasar dalam membangun demokrasi perlu juga diberikan pemahaman hakikat demokrasi pada masyarakat di daerah, para fungsionaris partai politik dan organisasi masyarakat di tingkat lokal, karena pemahaman demokrasi dikalangan elit maupun masyarakat awam pada saat ini masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari sulitnya mewujudkan rotasi kekuasaan yang diselenggarakan dengan teratur dan damai.

4. KESIMPULAN
a. Saat ini kondisi demokrasi di negara kita masih jauh dari harapan demokrasi itu sendiri, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat, persamaan hak, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam keputusan publik, pemilu yang jujur dan adil. Rendahnya pemahaman elit politik dan masyarakat terhadap demokrasi, menyebabkan demokrasi menjadi salah arah, demokrasi tidak lagi sebagai amanah masyarakat, tetapi oleh elit politik dijadikan lalat untuk mendapatkan kekuasaan, bagi masyarakat euporia demokrasi membuat mereka menjadi anarki, sehingga demokrasi berubah menjadi democrazy.
b. Agar demokrasi berjalan sesuai harapan maka perlu nilai-nilai atau norma-norma etika yang harus ditaati. Dalam Etika ada enam prinsip dasar dalam berdemokrasi , yaitu : Pertama demokrasi berlandaskan pada keyakinan nilai dan martabat manusia, sehingga melahirkan keyakinan diri, intelegensia, diskriminasi etis dan apresiasi estetika. Kedua, kebebasan dalam demokrasi diperlukan guna pengembangan moral, intelektual dan spiritual. Ketiga, menggunakan payung hukum untuk meghindarkan dari nafsu, prasangka dan hak-hak istimewa. Keempat demokrasi berlandaskan pada azas persetujuan , dimana perlu adanya kontrol kerakyatan atas isu-isu kebijakan. Yang kelima demokrasi harus menepati prinsip perbaikan dan kemajuan. Dan yang keenam prinsip persamaan (concept of equality)
c. Selain itu terdapat beberapa nilai, sikap yang harus dimiliki oleh warga negara, wakil rakyat, pemerintah, partai politik dan penegak hukum untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia. Nilai-nilai tersebut antara lain :
1) Warga negara, menjunjung tinggi perbedaan yang diwujudkan dengan sikap tidak menang sendiri, mengakui kebenaran orang lain, mengakui kekalahan dan tidak memaksakan kehendak.
2) Wakil rakyat, amanah, jujur yang diwujudkan dengan sikap memperjuangkan kepentingan masyarakat luas, selalu menghadiri persidangan, mengikuti persidangan dengan baik, tidak menerima suap.
3) Pemerintah, amanah, bertanggungjawab, terbuka terhadap kritik, tidak membedakan pelayanan pada masyarakat, menerapkan prinsip good governance.
4) Partai Politik, amanah, tidak melakukan komersialisasi untuk suatu kedudukan, jabatan, tidak mendahulukan kepentingan partai dan fanatisme partai.
5) Penegak Hukum, adil, jujur diwujudkan dengan tidak menerima suap, memberikan keputusan yang adil dalam setiap perkara.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Woro. 2009. Meluruskan Demokrasi Lokal Menggagas Kepemimpinan Daerah Yang Ideal di Era Pilkada Langsung dalam Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Yogyakarta, Gava Media.

Fatwa, A.M. 2004. Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi , Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999 – 2004, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi negara, Jakarta, Rajawali Pers

Said, M. Mas’ud. 2005. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Malang. UMM Pers

Sulastomo. 2007. Membangun Demokrasi Mengelola Globalisasi

Solomon, Robert C. 1987. Etika : Suatu Pengantar, Jakarta, Erlangga