Senin, 30 Januari 2012

Post Birokrasi Menuju Pelayanan Publik Yang Profesional

Oleh : Arenawati

ABSTRAK

Seiring dengan perkembangan ilmu organisasi dan administrasi Negara konsep birokrasi yang dimotori oleh seorang ilmuwan bernama Max Weber perlahan-lahan mulai bergeser dengan nilai-nilai birokrasi yang baru. Konsep birokrasi yang disampaikan oleh Max Weber oleh sebagian ahli organisasi dipandang sebagai organisasi yang kaku, berbelit-belit, terlalu formal sehingga meninbulkan apa yang disebut dengan “The Red Tape”. Walaupun salah satu prinsip birokrasi yang disampaikan oleh weber adalah efesien, tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Banyak waktu yang terbuang, biaya yang besar sebagai akibat formalisasi yang berlebihan di Birokrasi. Gerakan New Public Management (NPM) telah membawa banyak perubahan dan perbaikan dalam organisasi publik. Birokrasi sebagai organisasi publik yang melayani masyarakat mengalami perubahan , yang disebut sebagai Post Bureacratic Organization. Perubahan ini dicirikan oleh perubahan pada sisi kebijakan dan budaya manajemen, struktur organisasi dan orientasi pasar. Penerapan post birokrasi diiringi dengan penerapan nilai-nilai akuntabilitas, kemitraan dan restrukturisasi pada organisasi pelayanan publik. Seiring dengan perubahan organisasi dari birokrasi ke post birokrasi diharapkan pelayanan publik yang dilakukan akan lebih kompetitif dan profesional.

Kata Kunci : Pelayanan Publik, Post Birokrasi, Profesionalisme



ABSTRACT

POST BUREAUCRACY TO PROFESSIONAL PUBLIC SERVICE

By Arenawati

FISIP Sultan Ageng University Serang Banten

arenawatip@yahoo.com

Along with the development of science organization and administration of the state, The bureaucracy concept is driven by a scientist named Max Weber is slowly starting to shift with the new values off bureaucratic. The concept which presented by Max Weber by most experts viewed the organization as an organization that rigid, convolute,, too formal so that make what is called the red tape. Although one of the principles presented by Weber bureaucracy is efficient but in reality is not so much time is wasted, the cost of formalization as a result of excessive. Movement of new public management has brought many changes and improvement in public organization. Bureaucracy as a public organization that serves people experiencing change referred to as post bureaucratic, organization this change is characterized by changes in the policy and cultural management, organizational structure and market orientation. Application post bureaucracy must accompanied by the application of accountability values, , partnership values and restructure values in the public service organization. Along with organizational change from bureaucratic to post bureaucratic public service performed is expected to be more competitive and professional.

Keywords : Public Service, Post Bureaucratic, Profesionalism


I. Pendahuluan

Berbicara tentang birokrasi pastilah kita akan dihadapkan pada suatu organisasi yang sangat formalistis , terstruktur dengan kaku dan hierarki kewenangan yang bertumpuk.. Birokrasi menurut Max Weber bersifat legal rasional. Sifat legal rasional digambarkan sebagai organisasi yang terstruktur rapih dan diatur oleh seperangkat aturan yang jelas dengan tujuan-tujuan rasional, seperti efesien dan efektif. Dengan tujuh kriterianya, Max Weber mencoba menjadikan Birokrasi sebagai organisasi yang ideal, efektif dan efesien.

Pada kenyataannya birokrasi yang dianalogikan pemerintah seringkali tidak efesien dan efektif. Sifat formalisasi yang tinggi pada birokrasi seringkali membuat birokrasi menjadi tidak efesien dan cenderung berbelit-belit. Padahal pemerintah sebagai organisasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dituntut memiliki daya tanggap yang tinggi. Jumlah penduduk yang semakin besar dan kebutuhan yang semakin meningkat, semakin meningkatkan kerja birokrasi. Birokrasi tidak lagi boleh berkutat hanya pada pemenuhan prosedur formal dan segi legalitas semata. Pemerintah harus dapat memberikan pelayanan yang prima ,bermutu dan profesional kepada masyarakat.

Kualitas pelayanan publik saat ini masih belum memberikan kepuasan bagi masyarakat. Menurut Sri Juni Woro Astuti (2009) rendahnya kualitas pelayanan publik ini antara lain disebabkan oleh masih rendahnya profesionalisme birokrasi sehingga birokrasi tidak mampu memanfaatkan ruang diskresi yang seharusnya digunakan demi meningkatkan responsivitas terhadap tuntutan masyarakat.Rendahnya profesionalisme birokrasi dapat dilihat dari belum tertibnya administrasi dan data base kependudukan, rendahnya kualitas pelayanan publik terutama untuk pelayanan sosial dasar seperti kesehatan dan pendidikan.

II. Pembahasan

1. Permasalahan Birokrasi

Birokrasi yang paling familiar bagi kita adalah Model birokrasi Weber. Dimana model tersebut memiliki karakteristik yang melekat erat pada organisas-organisasi pemerintah, seperti : pembagian tugas, hirarki kewenangan yang jelas, formalisasi yang tinggi, jejak karir bagi para pegawai, bersifat tidak pribadi, pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai didasarkan atas kemampuan, dan kehidupan organisasi yang dipisahkan jelas dari kehidupan pribadi (Robbins, 1994). Max Weber mencoba melukiskan sebuah organisasi yang ideal yang secara murni rasional yang akan memberikan efesiensi operasi yang maksimum.

Karakteristik Model Birokrasi Weber pada kenyataannya membuat birokrasi menjadi tidak efesien. Hirarki kewenangan yang jelas sebagai salah satu kriteria dari birokrasi sangat konkrit diterapkan oleh pemerintah, hal ini dapat dilihat dari eselonisasi jabatan struktural dan tingkatan golongan. Seorang PNS harus mengikuti jenjang demi jenjang untuk berkarir di struktural maupun sebagai tenaga professional. Hirarki kewenangan yang terlalu panjang membuat prosedur menjadi panjang. Terkait dengan pelayanan publik, karena hirarki kewenangan yang ada dapat menghambat terselesaikannya sebuah urusan. Misalkan, seorang mahasiswa yang akan melakukan penelitian, surat izin penelitian harus dimelalui beberapa meja , sampai akhirnya harus ditanda tangani oleh Kepala Dinas untuk mendapatkan persetujuan. Apabila salah seorang pejabat berhalangan hadir, maka harus menunggu sampai pejabat tersebut masuk. Prosedur yang berbelit-belit inilah yang membuat sebagian orang yang berhadapan dengan birokrasi pemerintah menjadi frustasi. Padahal pemerintah adalah pemegang monopoli dalam pelayanan administratif. Mau tidak mau suka ataupun tidak suka, masyarakat harus kembali lagi berhadapan dengan pemerintah.

Gagasan lain tentang birokrasi disampaikan oleh Evers (1987), beliau mengelompokkan birokrasi ke dalam 3 pola, pertama weberisasi yang memandang birokrasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintah dan aparat, kedua parkinsonisasi yang melihat birokratisasi sebagai pertumbuhan atau membengkaknya jumlah pegawai negeri dan orwelisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dengan regulasi dan kalau perlu paksaan.

Eisenstad (1959) mengelompokkan gagasan birokrasi dalam dua pandangan, yaitu :

a. Gagasan tentang birokrasi sebagai alat yang efesien dan efektif untuk mewujudkan lesan-lesan tertentu.

b. Gagasan tentang birokrasi sebagai alat untuk memperoleh, mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan.

Hegel melihat birokrasi sebagai institusi yang menduduki posisi organik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum dan masyarakat sipil, yang mewakili kepentingan umum dalam masyarakat. Marx memandang birokrasi dari sifatnya yang parasitic dan eksploitatif. Bagi dia birokrasi adalah instrument kelas yang berkuasa untuk mengeksploitasi kelas sosial yang lain.

Gagasan – gagasan yang disampaikan oleh Evers, Einstad dan Hegel tentang birokrasi cenderung menempatkan birokrasi sebagai alat kekuasaan. Birokrasi adalah struktur yang menghubungkan kepentingan penguasa dan masyarakat. Dengan pandangan yang demikian maka Birokrasi berada pada posisi yang kuat untuk membuat suatu kebijakan dan regulasi dalam rangka menyelenggarakan berbagai urusan administratif.

Pemerintah sebagai pilar utama penyelenggaraan negara yang nota bene penyelenggara pelayanan publik semakin dihadapkan pada tuntutan masyarakat dan lingkungan luar yang dinamis.Pemerintah dituntut harus mampu dan cermat mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi objektif dan iklim kerja pemerintah saat ini masih dipengaruhi oleh model birokrasi klasik yang lebih menitikberatkan pada struktur, hirarki, otoritas dan sentralisasi. Meskipun model ini memkasimumkan nilai efesiensi dan efektifitas ekonomi, tetapi kenyataannya teori tersebut tidak memberikan jawaban atas kondisi saat ini.

Teori birokrasi telah menimbulkan beberapa implikasi negatif yang sangat terkait dengan gejala-gejala kondisi birokrasi saat ini. T.Smith menyebutkan Inmobilism-inability to function adalah kenyataan yang terkait dengan adanya hambatan dan ketidakmampuan menjalankan fungsi secara efektif. Kelemahan birokrasi dapat dilihat dari sering dijumpainya koordinasi yang lemah, kebocoran dalam kewenangan atau linkage of authority ( Juni,2009). Robert Merton (1994) mengakui bahwa peraturan yang birokratis dan impersonality menghasilkan suatu tingkat keandalan dan daya damai yang tinggi. Proses penyesuaian dapat merusak karena mengurangi fleksibilitas. Peraturan menjadi lebih penting ketimbang tujuan yang dirancang untuk melayani. Penerapan peraturan yang tidak tepat, keterasingan pegawai, konsentrasi kekuasaan dan frustasi dari yang bukan anggota.

Kritik lain terhadap birokrasi disampaikan oleh Veblen (1921) bahwa birokrasi membuat para anggotanya untuk bersandar pada aturan-aturan dan hukum yang kaku serta menerapkannya dalam suatu penampilan yang mekanik, otomatis dan tidak kreatif. Pola demikian disebut dengan trained incapacity. Sebagai hasil sosialisasi dalam organisasi, individu sering mengembangkan wawasan searah atau tunnel visionyang membatasi kecakapannya. Michels (1966) siapa yang membicarakan birokrasi berarti membicarakan oligarkhi, ini menunjukkan adanya kecenderungan organisasi birokrasi mengarah pada oligarkhi, yaitu suatu pemusatan kekuasaan di tangan sebagian kecil individu, yang menggunakan kantornya untuk meningkatkan keuntungan dan kepentingan mereka sendiri. Parkinson (1962) dengan hukum parkinsonnya dikemukakan bahwa tugas-tugas birokrasi meluas sehingga menutupi waktu yang tersedia untuk menyelesaikannya, jumlah pejabat tidak berhubungan sama sekali dengan volume pekerjaan.

2. Merubah Birokrasi menuju Post Birokrasi

Perkembangan teori organisasi dan pelayanan publik telah membawa implikasi yang luas. Salah satunya adalah dengan berubahnya konsep birokrasi menjadi post birokrasi. Perubahan yang terjadi saat ini di organisasi sektor publik sangat berkaitan dengan gerakan New Public Management (NPM). Dalam NPM perhatian terhadap nilai-nilai pelayanan publik telah ditingkatkan. NPM berusaha melakukan perbaikan organisasi sektor publik dengan menerapkan pendekatan ,prinsip-prinsip, dan pengalaman yang terjadi di sektor swasta kedalam sektor publik. Azas-azas dan Prinsip pelayanan yang ada saat ini harus dilandaskan pada paradigma NPS dan meninggalkan prinsip administrasi klasik. Menurut Denhardt&Denhardt(2003) administrasi publik harus:

  1. Service citizen not customer, melayani warga negara bukan pelanggan.
  2. Seek the public interest, mengutamakan kepentingan public.
  3. Value citizenship over entrepreneurship, nilai-nilai kemasyarakatan warga negara diatas nilai-nilai kewirausahaan(bisnis).
  4. Think strategically, act democratically, berfikir strategis berbuat demokratis.
  5. Recognize that accountability is not simple , mengakui bahwa pertanggungjawaban itu tidak sederhana.
  6. Serve rather than steer, lebih pada melayani daripada mengarahkan.

7. Value people, not just productivity, menerapkan nilai-nilai kemanusian, tidak sekedar produktivitas (Keban, 2008: 37).

Paradigma ini menyebabkan perubahan pandangan terhadap warga negara sebagai pengguna pelayanan publik. Dengan prinsip service citizen not customer menempatkan warga negara tidak lagi sebagai pelanggan yang mendapatkan pelayanan berdasarkaan kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Dalam New Public Service pengguna pelayanan publik adalah warga negara yang memiliki posisi sebagai owner atau pemilik pelayanan tersebut.

Pergeseran pandangan ini mengisyaratkan bahwa masyarakat sejak awal harus dilibatkan dalam perumusan berbagai hal yang menyangkut pelayanan publik, misalnya mengenai jenis pelayanan yang mereka butuhkan, cara terbaik untuk menyelenggarakan pelayanan publik, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme untuk mengevaluasi pelayanan (Dwiyanto,2005:194).

Denhardt dan Denhardt (2008:181)menggambarkan New Publik Service sebagai sebuah alternative untuk the old administration dan the new public managent. Pandangan yang mendasari the New Public Service menurutnya adalah :

(1) To advance the dignity and worth of public service

(2) To reassert the value of democracy, citizenship and the public interest as the preeminent values of public administration.

Jadi pandangan The New Publik Service adalah untuk meningkatkan kemuliaan dan nilai-nilai pelayanan publik dan untuk menjadikan nilai-nilai demokrasi , kewarganegaraan dan kepentingan umum sebagai nilai-nilai yang diunggulkan dalam administrasi publik.

Dengan pendekatan pelayanan publik The New Public Service masyarakat bisa diberdayakan potensinya, bukan hanya sebagai pengguna yang pasif tetapi turut menentukan bagaimana proses penyelenggaraan pelayanan tersebut seharusnya dilakukan. Kegiatan ini diasumsikan dapat mendorong perbaikan kualitas pelayanan melalui perubahan sikap dan perilaku penyelenggara, tetapi juga sekaligus meningkatkan pemberdayaan masyarakat, sehingga dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan dapat ditingkatkan. Hal yang penting adalah terjadinya sense of citizenship di kalangan masyarakat (Widaningrum,2007 :48).

Seiring dengan perubahan menuju New Public Service maka model birokrasi yang klasik berubah menjadi post birokratik. Kenneth Kernaghan dalam tulisannya yang berjudul “The post bureaucratic organization and public service values” menjelaskan perubahan karakteristik dari organisasi birokrasi kea rah post birokratik. Perubahan karakteristik tersebut meliputi 3 (tiga) pokok perhatian, yaitu dilihat dari sisi Kebijakan dan Budaya Manajerial, Struktur dan Orientasi Pasar.

Pertama , dari sisi kebijakan dan budaya manajerial (Policy and Managerial Culture).terdapat perubahan karakteristik, sebagai berikut :

1) Organization centered to citizen centered. Pada birokrasi klasik pusat perhatian adalah organisasi sehingga penekanannya adalah lebih pada pemenuhan kebutuhan organisasi itu sendiri, maka pada post birokratik harus dirubah bahwa pusat perhatian adalah warga negara, sehingga penekannanya lebih pada peningkatan kualitas pelayanan kepada warga negara.

2) Position Power to Participative leadership. Karakteristik Birokrasi yang memandang bahwa kekuatan seseorang adalah karena posisi, maka penggunaan pengawasan , perintah dilakukan untuk membuat pegawai patuh. Pandangan ini harus dirubah dengan menciptakan kepemimpinan partsipatif, dimana terjadi pembagian nilai-nilai dan pelibatan anggota dalam pengambilan keputusan.

3) Rule centered to People centered. Birokrasi memiliki focus perhatian pada aturan, prosedur dan ketatnya batasan-batasan yang mengatur perilaku anggotanya. Kondisi seperti ini harus dirubah dengan lebih memperhatikan aspek manusia. Pegawai harus diberdayakan dan organisasi harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap anggotanya.

4) Independent action to Collective action. Bila birokrasi klasik pola kerjanya lebih pada bekerja secara individual, hal ini ditampakkan dengan sedikit konsultasi, kerjasama ataupun koordinasi. Maka pada organisasi post birokrasi yang diperlukan adalah bekerja secara kolektif atau tim. Sehingga konsultasi, kerjasama dan koordinasi perlu dibangun dengan baik.

5) Status Quo oriented to Change oriented. Birokrasi berorientasi pada mempertahankan status quo dan cenderung anti perubahan. Birokrasi lebih menekankan pada mempertahankan kekuasaan dan dalam kondisi selalu menghindari resiko dan kesalahan. Hal ini harus dirubah, agar birokrasi lebih responsive maka birokrasi harus terbuka dengan perubahan. Birokrasi harus melakukan terobosan-terobosan baru, berani mengambil resiko dan melakukan pengembangan terus menerus (continuous improvement).

6) Process oriented to Result oriented. Birokrasi dengan formalisasinya lebih berorientasi pada proses, dalam arti pertanggung jawaban pada proses menjadi hal yang mutlak, sehingga semua harus procedural. Jika birokrasi hanya berkutat pada proses maka seringkali mengabaikan pada hasil. Hal inilah yang harus dirubah, tutuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan dan kinerja birokrasi yang harus semakin baik dari hari kehari, maka birokrasi harus lebih beorientasi pada hasil ketimbang pada prosesnya.

Kedua, pada sisi struktur (structure). Dilihat dari strukturnya maka terdapat dua karakteristik perubahan :

1) Centralized to Decentralized . pemusatan kekuasaan atau sentralisasi yang ada dalam birokrasi harus dirubah menjadi desentralisasi. Kekuasan disharekan kepada bawahannya dan mereka diberikan kewenangan untuk mengatur bagiannya sendiri.

2) Departemental Form to Non Departemental Form. Bentuk departemen yang terdapat dalam birokrasi yang sebagian besar program dilaksanakan oleh departemen pelaksana , maka pada post birokratik dirubah menjadi non departemen. Dengan demikian program dapat dijalankan tidak harus oleh departemen pelaksana tetapi juga oleh pihak lain yang memiliki kompetensi dan profesional untuk pekerjaan tersebut.

Ketiga adalah dari sisi Orientasi Pasar (Market Oriented). Terdapat dua perubahan karakteristik pada sisi ini, yaitu :

1) Budget Driven to Revenue Driven. Pada Birokrasi dalam pengendalian biaya bahwa pembiayaan program-program pemerintah sebagian besar didanai dari APBN/APBD atau dana-dana pemerintah. Sementara pada post birokratik pembiayaan program-program sedapat mungkin berdasarkan pada dana-dana di luar APBN/APBD, jadi instansi harus kreatif mencari sumber pendanaan bagi operasioanlisasi dan pelaksanaan programnya.

2) Monopolistic to Competitives. Sifat monopoli yang dimiliki oleh birokrasi dalam penyaluran program membuat birokrasi diatas angin. Hal ini mengakibatkan kinerja birokrasi tidak maksimal, oleh karena post birokratik menginginkan adanya kompetisi. Post birokrasi membuka kesempatan pada pihak swasta untuk turut andil dalam penyaluran program. Birokrasi harus dapat bersaing dengan sektor swasta dalam penyaluran program.

Kerangka kerja Organisasi Birokratis dengan Organisasi Post Birokratis mencerminkan luasnya jangkauan perubahan yang terjadi dan yang ditawarkan menuju organisasi post birokrasi. Kerangka kerja tersebut merupakan Elemen utama dalam New Publik Management.dimana terlihat adanya pertentangan yang berlebihan dalam pelaksanaannya pada organisasi publik pada umumnya. Poin-poin dalam kerangka kerja tersebut diambil dari sejumlah model organisasi publik termasuk didalamnya adalah pasar dan partisipasi seseorang. Arti pentingnya disini adalah organisasi publik dapat bergerak ke arah organisasi model post birokratik jika mereka memasukkan kemitraan, pemberdayaan masyarakat, perbaikan teknis, teknologi informasi dan pembelajaran yang terus menerus.

Banyak organisasi publik yang pesimis akan perubahan kearah model post birokrasi. Model post birokrasi bukan sebuah model yang normatif yang dapat dirasakan oleh semua organisasi publik dengan menutup sebagian komponennya. Paradigma yang ada tidak secara tegas ditawarkan sebuah model sebuah organisasi. Disini ditawarkan beberapa komponen model yang menekankan pada koordinasi dan kolaborasi berlawanan dengan penekanan pada desentralisasi kekuasaan dan pengawasan. Banyak juga organisasi sekarang ini yang menggunakan kerangka kerja bagi organisasinya seperti struktur, budaya dan manajemen yang dipilih, untuk mengarah pada birokratik dibandingkan dengan post birokrasi karena kepastian akan keberlangsungannya. Sebuah organisasi cenderung lebih banyak menekankan pada akuntabilitas (pertanggungajawaban) pada proses ( seperti adanya aturan) setelah memperhitungkan dengan cepat ketidakpastian resiko yang diambil.

Konsep dalam Profil Organisasi merupakan acuan yang digunakan untuk membandingkan birokrasi publik yang satu dengan birokrasi publik yang lain dalam satu pemerintahan atau birokrasi publik di suatu negara dengan birokrasi public di negara lain. Misalkan di Australia , tercatat bahwa pemerintah Australia disebut dengan organisasi dengan performa yang tinggi, dimana memiliki banyak karakteristik kearah post birokratik. Menurut David Kemp, pemimpin pelayanan publik seharusnya mengadopsi karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh organisasi dengan performa yang tinggi yang memfokuskan pada pelanggan, kekuatan pada visi strategis, menggunakan model benchmarking secara terus menerus, dan peningkatan performa, berdasarkan pada nilai-nilai daripada berdasarkan pada aturan manajerial dan sebuah penekanan pada hasil dalam kondisi lingkungan yang bersaing (Kemp, 1998 :2 ).

Ketika menentukan keuntungan dan biaya selama organisasi terus menerus bergeser , organisasi publik harus menguji tidak hanya yang berkaitan dengan struktur dan manajerial tetapi juga pada politik dan nilai-nilai yang berimplikasi baik.Sebagai contoh bertukarnya pandangan dari yang berfokus pada organisasi ke fokus pada warga negara, hal ini sangat penting untuk menguji keberadaan struktur baru sebagai jendela mekanik dalam pelayanan public, pendekatan manajemen baru dalam pemberdayaan tenaga kerja.

1. Nilai-Nilai Yang Menyertai Organisasi Post Birokrasi

Pertentangan nilai-nilai bagi administrator publik adalah sebuah kenyataan yang biasa terjadi . Pertentangan antara nilai-nilai demokrasi, etika dan profesionalisme adalah pertentangan antara nilai-nilai baru dan lama. Dalam menentukan nilai-nilai yang berkaitan dengan perubahan pelayanan publik seorang administrator mempertimbangkan kecakapan secara umum dan kecocokan dan keleluasaannya dengan nilai-nilai yang bersangkutan.Nilai-nilai yang berkaitan dengan berpindahnya organisasi yang tertuang dalam kerangka kerja birokrasi dan post birokrasi dicerminkan dalam nilai-nilai :

1) Akuntabilitas (Pertanggungjawaban). Pertanggungjawaban menjadi nilai dominan dalam administrasi publik bersifat kontemporer, dimana pertanggungjawaban telah lama menjadi pusat perhatian pada nilai-nilai pelayanan public.

2) Partnership (kemitraan), kemitraan termasuk dalam organisasi publik dan semua jenis organisasi non pemerintah (khususnya organisasi bisnis). Kemitraan memperkenalkan lebih luas pada focus perhatian warga negara sebagai pusat perhatian pelayanan, kolaborasi, desentralisasi dan membentuk organisasi non departemental dan pemulihan biaya. Kemitraan juga berfungsi memelihara nilai-nilai profesionalisme seperti efesiensi, tim kerja dan inovasi.

3) Restrukturisasi, perubahan pada struktur adalah instrument lain yang dengan keleluasaannya digunakan untuk menggerakkan organisasi publik kearah model post birokrasi. Restrukturisasi dapat memperkenalkan objectivitas sebagai peningkatan pelayanan, desentralisasi dan pemulihan biaya. Hal ini sangat penting khususnya untuk mengubah bentuk organisasi menjadi non departemen. Pengaturan struktur baru biasanya berperan sebagai pemelihara nilai-nilai profesionalisme seperti efektifitas dan pelayanan. Perhatian muncul sekitar pengaturan dalam pertanggungjawaban. Perhatian diutamakan pada kedudukan pemerintah yang dapat menumbuhkan pertanggungjawaban demokrasi terutama pada organisasi pemerintah pada executif politik dan mengarah pada bagian yang lebih kecil pada sektor publik.

III. Kesimpulan

Tuntutan akan pelayanan publik yang lebih professional dan bermutu menuntut adanya perubahan pada birokrasi pemerintah pada saat ini. Birokrasi klasik dianggap sudah tidak mampu untuk memenuhi tututan warga negara untuk mendapatkan pelayanan publik yang bermutu, oleh karena birokrasi berubah menjadi post birokrasi.

Untuk merubah menjadi organisasi post birokratik, maka harus dirubah karakteristik birokrasi klasik dengan karakteristik post birokratik. Perubahan karakteristik tersebut meliputi tiga komponen penting yaitu : kebijakan dan budaya manajerial, struktur dan orientasi pasar. Dengan rincian sebagai berikut :

1) Organization centered to citizen centered. Pada birokrasi klasik pusat perhatian adalah organisasi sehingga penekanannya adalah lebih pada pemenuhan kebutuhan organisasi itu sendiri, maka pada post birokratik harus dirubah bahwa pusat perhatian adalah warga negara, sehingga penekannanya lebih pada peningkatan kualitas pelayanan kepada warga negara.

2) Position Power to Participative leadership. Karakteristik Birokrasi yang memandang bahwa kekuatan seseorang adalah karena posisi, maka penggunaan pengawasan , perintah dilakukan untuk membuat pegawai patuh. Pandangan ini harus dirubah dengan menciptakan kepemimpinan partsipatif, dimana terjadi pembagian nilai-nilai dan pelibatan anggota dalam pengambilan keputusan.

3) Rule centered to People centered. Birokrasi memiliki focus perhatian pada aturan, prosedur dan ketatnya batasan-batasan yang mengatur perilaku anggotanya. Kondisi seperti ini harus dirubah dengan lebih memperhatikan aspek manusia. Pegawai harus diberdayakan dan organisasi harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap anggotanya.

4) Independent action to Collective action. Bila birokrasi klasik pola kerjanya lebih pada bekerja secara individual, hal ini ditampakkan dengan sedikit konsultasi, kerjasama ataupun koordinasi. Maka pada organisasi post birokrasi yang diperlukan adalah bekerja secara kolektif atau tim. Sehingga konsultasi, kerjasama dan koordinasi perlu dibangun dengan baik.

5) Status Quo oriented to Change oriented. Birokrasi berorientasi pada mempertahankan status quo dan cenderung anti perubahan. Birokrasi lebih menekankan pada mempertahankan kekuasaan dan dalam kondisi selalu menghindari resiko dan kesalahan. Hal ini harus dirubah, agar birokrasi lebih responsive maka birokrasi harus terbuka dengan perubahan. Birokrasi harus melakukan terobosan-terobosan baru, berani mengambil resiko dan melakukan pengembangan terus menerus (continuous improvement).

6) Process oriented to Result oriented. Birokrasi dengan formalisasinya lebih berorientasi pada proses, dalam arti pertanggung jawaban pada proses menjadi hal yang mutlak, sehingga semua harus procedural. Jika birokrasi hanya berkutat pada proses maka seringkali mengabaikan pada hasil. Hal inilah yang harus dirubah, tutuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan dan kinerja birokrasi yang harus semakin baik dari hari kehari, maka birokrasi harus lebih beorientasi pada hasil ketimbang pada prosesnya.

7) Centralized to Decentralized . pemusatan kekuasaan atau sentralisasi yang ada dalam birokrasi harus dirubah menjadi desentralisasi. Kekuasan disharekan kepada bawahannya dan mereka diberikan kewenangan untuk mengatur bagiannya sendiri.

8) Departemental Form to Non Departemental Form. Bentuk departemen yang terdapat dalam birokrasi yang sebagian besar program dilaksanakan oleh departemen pelaksana , maka pada post birokratik dirubah menjadi non departemen. Dengan demikian program dapat dijalankan tidak harus oleh departemen pelaksana tetapi juga oleh pihak lain yang memiliki kompetensi dan profesional untuk pekerjaan tersebut.

9) Budget Driven to Revenue Driven. Pada Birokrasi dalam pengendalian biaya bahwa pembiayaan program-program pemerintah sebagian besar didanai dari APBN/APBD atau dana-dana pemerintah. Sementara pada post birokratik pembiayaan program-program sedapat mungkin berdasarkan pada dana-dana di luar APBN/APBD, jadi instansi harus kreatif mencari sumber pendanaan bagi operasioanlisasi dan pelaksanaan programnya.

10) Monopolistic to Competitives. Sifat monopoli yang dimiliki oleh birokrasi dalam penyaluran program membuat birokrasi diatas angin. Hal ini mengakibatkan kinerja birokrasi tidak maksimal, oleh karena post birokratik menginginkan adanya kompetisi. Post birokrasi membuka kesempatan pada pihak swasta untuk turut andil dalam penyaluran program. Birokrasi harus dapat bersaing dengan sektor swasta dalam penyaluran program.

Daftar Pustaka

Denhardt, Robert B, 2008.Theories of Public Organization Fifth Edition, Thompsons Wadsworth, USA

Dwiyanto, Agus,2005, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Keban, Prof.Dr. Yeremias T, SU.MURP, 2008, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori dan Isu, Gavamedia, Yogyakarta

Kernaghan, Kenneth, 2000, The Post Bureaucratic Organization and Public Service Values, International Review of Administration Sciences.HAS SAGE Publication. London

Juni, Sri Woro Astuti, 2009, Diskresi Birokrasi. Administrasi Negara dan Isu-Isu Kontemporer, Graha Ilmu Yogyakarta

Widaningrum, Ambar, 2007. Bekerjanya Desentralisasi pada Pelayanan Publik, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, MAP UGM, Volume 11, Nomor 1, Mei 2007

Robbins, Stephen P, 1994. Teori Organisasi Struktur, Desain dan Apilikasi, Arcan, Jakarta


Selasa, 17 Januari 2012

Daftar Mahasiswa yang mengikuti Remedial TO

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Bagi mahasiswa yang namanya tercantum dalam daftar di bawah ini diharapkan kehadirannya untuk mengikuti remedial Test Mata Kuliah Teori Organisasi pada : Kamis, 19 Januari 2012 di Gedung B.47 pukul 10.00 WIB. Terima kasih.

Kelas 3A

1. Tommy Ferdianto (1100751)
2. Prayoga (1100287)
3. Ebadurahman (1100281)
4. Elita Putriani (1081079)
Kelas 3 B
1. Dian Novita Sari (1100764)
Kelas 3 F (Non Reguler)
1. Irfan Riswandi (1072860)
2. M. Agung Hardi (1093240)
3. Indri Sutopo (1101843)
4. Septian Eka M. (1102005)
5. Tuti Angriani (1102020)
6. Bahrurozi (1102010)
7. Ingga Andika (1102114)
Kelas 3G (Non Reguler )
1. M. Husni Azhari
2. Nia Sutria Juniati
3. Randhy Zulhelmi
4. Akbar Agung Maesya
5. Aris Suhendar
6. Daniel Oktavianus
7. Dede Wahyudin
8. Razaq Herawan
9. Firmansyah
10. Wahyu Feri Hidayat
11. Arif Rahman
12. M. Hamdi
13. Wahyu Firmansyah
14. Neng Elis
15. Wildan Hendriana
16. Karyadi
17. Rini Fujianti

Dosen Ybs,

Arenawati, M.Si

Sabtu, 14 Januari 2012

Perkembangan Administrasi Pemerintah Daerah Di Indonesia

Pemerintahan daerah di Indonesia mengalami perkembangan yang ditandai dengan berubahnya sistem pemerintahan yang ada. Penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana pemerintahan daerah pada masa sebelum kemerdekaan sampai paska kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan sampai sekarang peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah mengalami beberapa pergantian. Menurut Sarundajang (2005:25) berubahnya sistem pemerintahan dari pusat ke daerah terletak pada pola pikir partisipatif populis. Partisipatif populis menghendaki adanya akses bagi masyarakat untuk bersikap menentukan kehidupan penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, dimana kaum elite harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan kebijakan pemerintahan kepada rakyat dan masyarakat merespon output kebijakan yang telah dilaksanakan. Prinsipnya bahwa pemerintah untuk rakyat bukan Rakyat untuk Pemerintah, jadi pemerintah daerah harus melayani rakyat daerah. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia penulis akan menguraikan dari masa ke masa.

1. MASA HINDIA BELANDA

Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia bukan merupakan suatu negara tetapi merupakan bagian wilayah Pemerintah Negara Belanda yang disebut Hindia Belanda bagian Timur (Nederlands Oost Indie) disamping adanya Hindia Belanda bagian Barat (Nederlands West Indie) yaitu Suriname dan kepulauan sekitarnya.

Sebagai daerah jajahan, Indonesia tunduk kepada hukum yang dibuat oleh Pemerintah Negeri Belanda baik hukum dasarnya maupun peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaannya baik yang dibuat di Belanda maupun Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.

Hukum Dasar Belanda disebut Undang-undang Dasar (Grondswet) yang berlaku dan mengikat seluruh penduduk baik rakyat Belanda sendiri maupun rakyat Indonesia. Peraturan pelaksanaan UUD (Wet) dibuat oleh Parlemen Belanda yang terdiri dari kamar ke dua (Tweede Kamer) dan kamar ke satu (Eerste Kamer) yang terkenal dengan nama Staten General. Peraturan Pelaksanaan dari suatu Undang-undang dilakukan dengan Peraturan Pemerintah Negeri Belanda yang disebut Regelling Reglement (RR). Peraturan Pelaksanaan dapat juga disebut dengan Keputusan Raja (Koningklijke Besluit).

Sistem pemerintahan Hindia Belanda peda waktu itu dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Sistem Pemerintahan Sentralistis

Dalam pembentukan Pemerintah Daerah di Hindia Belanda waktu itu dianut 2 (dua) cara yaitu daerah langsung dan daerah tidak langsung.

1) Pemerintahan umum di Nederlandse Indie dijalankan oleh Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda.

2) Daerah Tidak Langsung (Indirect Gebied) artinya tidak langsung diperintah oleh Pemerintah Hindia Belanda. Daerah-daerah ini adalah berbentuk pemerintah kerajaan/kesultanan yang sudah ada. Misalnya: Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Palembang, Deli, Aceh dan sebagainya. Daerah-daerah swapraja ini diberikan kelonggaran untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atau mengurus rumah tangga daerah swpraja sendiri (otonomi) dengan suatu perjanjian politik (Politiek Contract) baik dengan cara kontrak/perjanjian jangka panjang atau kontrak/perjanjian jangka pendek ( Korte Verklaring). Daerah-daerah itu semua mendapat pengawasan dari Pemerintah Hindia Belanda dengan menempatkan pejabat pengawas dengan pangkat Asisten Residen atau Controleur, Residen bahkan sampai Gubernur.

3) Daerah Langsung (Direct Gebied) artinya daerah yang langsung diperintah oleh Pemerintah Hindia Belanda secara terpusat dari Batavia (Jakarta). Daerah jajahan Hindia Belanda dibagi secara hirarkis atas wilayah pemerintahan administratif yang disebut juga sebagai Pemerintahan Pangreh Praja (Gawesten) yaitu:

- Di Jawa dan Madura:

a) Propinsi : Gubernur

b) Karesidenan : Residen (Afdeling)

c) Kabupaten (Regenschap) :Asisten Residen yaitu Bupati (Regent)

d) Kawedanan (District) : Kepala Distrik yaitu Wedana

e) Kecamatan (Onderdistrict) : Kepala Onderdistrict yaitu Asisten Wedana

f) Desa : Kepala Desa

- Di Luar Jawa dan Madura:

a) Propinsi

b) Karesidenan

c) Afdeling

d) Onder Afdeling

e) Kawedanan/District

f) Kecamatan/Onder District

g) Desa/Marga/Kuria/Nagari

Daerah langsung ini pada umumnya berada di Jawa dan Madura. Terdapat juga masyarakat hukum adat yaitu kesatuan masyarakat yang kecil yang disebut desa di Jawa, marga,kuria atau nagari diluar Jawa.

Kepala-kepala persekutuan masyarakat hukum adat ini oleh penguasa Belanda diberi tugas urusan-urusan Pemerintah Pusat tanpa digaji dengan kata lain mereka melaksanakan tugas pembantuan (Medebewind). Jelasnya kepala-kepala persekutuan masyarakat hukum adat tidak melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi, karena mereka bukan alat pemerintah Belanda, tetapi hanya melaksanakan tugas titipan disamping mengatur rumah tangganya sendiri. Penyelenggaraan desentralisasi ini disebut “Desentralisasi Politik” karena pengurusan kepentingan rumah tangganya sendiri didasarkan kehendak dari rakyat secara langsung melalui musyawarah.

Di samping itu adanya persekutuan masyarakat hukum adat yang tidak terikat pada suatu wilayah hukum yang hanya mengurus suatu kepentingan yaitu kepentingan perairan sawah yang dikenal dengan sistem subak di Bali. Mereka diberi kebebasan mengurus rumah tangganya sendiri dalam soal pembagian air, hak dan kewajiban para anggotanya dan sebagainya. Penyelenggaraan desentralisasi ini disebut “Desentralisasi Fungsional” karena adanya pengakuan pada kelompok pengurus yang mengurus kepentingan kelompoknya. Tetapi pemerintah Belanda tidak memberikan dasar hukum yang formal.

Terdapat juga “Desentralisasi Kebudayaan” yaitu pengakuan terhadap kelompok kecil dalam masyarakat yang menyelenggarakan kebudayaan sendiri (pendidikan, agama, dan sebagainya)

b.Sistem Pemerintahan Desentralisasi

Dalam perkembangannya pemerintah Belanda memberikan desentralisasi dengan dikeluarkannya:

a) Decentralisatie Wet 1903, Staablad 1903 no.329

Dimana dengan UU ini pemerintah Belanda membuka kemungkinan pembentukan daerah-daerah otonomi di Indonesia.

b) Decentralisatie Besluit 1905 Stb.1905-137 dan Ordonantie tentang Dewan Daerah 1905 (Locale Raad Ordonantie 1905 Stb.1905-131) yang memungkinkan dibentuknya dewan Perwakilan Rakyat Lokal (Locale Raad). Ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU diatas.

c) Mulai tahun 1922 diselenggarakan reorganisasi pemerintahan daerah dimana di Jawa dan Madura dibentuk daerah-daerah otonom yang disebut Propinsi, Kabupaten dan Kotapraja. Disamping itu masih dibentuk daerah-daerah otonom berdasarkan UU Desentralisasi tahun 1903 yaitu:

v Pembentukan kelompok-kelompok masyarakat dalam satu wilayah administratif yang berada di bawah kekuasaan seorang Residen misalnya Karesidenan Palembang, Karesidenan Sumatera Barat.

v Pembentukan Kotapraja misalnya kotapraja Palembang, Padang, Medan dan Makassar.

Pada dasarnya UU tentang reorganisasi pemerintahan tahun 1922 memberikan kewenangan kepada:

v Gubernur beserta pejabat-pejabat oarang Belanda sebagai alat Pusat Pemerintah Hindia Belanda di samping menjalankan tugas di bidang dekonsentrasi, diberikan kewenangan menjalankan tugas desentralisasi disertai kelengkapan dengan keuangan yang cukup yang disebut “Administratief en Financiele Decentralisati “

v Bupati, walikotamadya beserta pejabat-pejabat pribumi atau pangreh praja diberikan kelonggaran kewenangan disamping melaksanakan tugas dekonsentrasi juga menjalankan tugas desentralisasi.

v Mengikutsertakan unsur-unsur yang progresif di daerah dalam pemda secara intensif dibidang desentralisasi.

2. ADMINISTRASI PEMDA PADA MASA PENDUDUKAN TENTARA JEPANG

Pada masa pendudukan Jepang Indonesia dibagi dalam 3 (tiga) wilayah kekuasaan militer yaitu:

a) Daerah Jawa dan Madura dikuasai Komandan Pasukan Angkatan Darat Jepang yang ke-16 ( Gunseikanbu Jawa ) yang berkedudukan di Jakarta

b) Daerah Sumatra dikuasai oleh Komandan Pasukan Angkatan Darat Jepang yang ke-25 (Gunseikanbu Sumatera) yang berkedudukan di Bukittinggi

c) Wilayah kepulauan lainnya dikuasai Komandan Pasukan Angkatan Laut Jepang (Minseibu) yang berkedudukan di Makassar (Ujung Pandang)

Pemerintahan tertinggi dilakukan oleh perwira tinggi Jepang yang disebut “Saikoo Sikikan”. Di bidang pemerintahan sipil pada prinsipnya Jepang mengikuti struktur pada masa penjajahan Belanda dengan mengganti nama-namanya dalam bahasa Jepang. Perubahan yang ada adalah dihapuskannya wilayah Propinsi dan Gubernurnya, Afdeling dan Asisten Residennya, namun jabatan Residen dan Bupati tetap dipertahankan.

Dalam rangka pelaksanaan tugas dekonsentrasi wilayah Jawa dan Madura dibagi atas:

a) Syuu (Karesidenan) dikepalai oleh seorang Syuu-Cookan (Residen)

b) Si (Kotapraja) dikepalai oleh seorang Si-Coo (Walikota)

c) Ken (Kabupaten) dikepalai oleh seorang Ken-Coo (Bupati)

d) Gun (Distrik) dikepalai oleh seorang Gun-Coo (Wedana)

e) Son (Kecamatan) dikepalai oleh seorang Son-Coo (Camat)

f) Ku (Desa) dikepalai oleh seorang Ku-Coo (Kepala Desa)

Pada masa pendudukan Jepang pada mulanya asas desentralisasi tidak dijalankan. Tetapi dalam perkembangannya kemudian yakni menjelang kekalahannya karena terdesak perlawanan Sekutu, Jepang menghidupkan kembali dewan-dewan daerah untuk menarik simpati rakyat. Dewan Pusat disebut “Cuoo-Sangiin”, Dewan Karesidenan disebut “Syuu-Sangikai” dan dewan untuk kotapraja disebut “Tokubetsu Si Sangikai”. Namun penunjukan atau pemilihan anggota dewan ini tidak demokratis karena hanya sesuai dengan keinginan pemerintahan Jepang saja.

3. ADMINISTRASI PEMDA DALAM KURUN WAKTU PERTAMA BERLAKUNYA UUD 1945 (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949)

Sebelum pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) diwujudkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam rapatnya tanggal 19 Agustus 1945 dalam rangka menertibkan administrasi pemerintah daerah telah menetapkan hal-hal sebagai berikut:

1) Untuk sementara daerah di Negara indonesia dibagi dalam 8 (delapan) Propinsi yang dikepalai oleh seorang Gubernur. Propinsi-propinsi tersebut adalah:

v Jawa Barat

v Jawa Tengah

v Jawa Timur

v Sumatra

v Borneo (Kalimantan)

v Sulawesi

v Maluku

v Sunda Kecil

2) Daerah Propinsi dibagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah

3) Kedudukan Kota (Gementee) diteruskan

Pada tanggal 23 November 1945 telah dikeluarkan UU no.1 tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Dalam masa berlakunya undang-undang ini:

1) Kepala Daerah mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai aparat Pemerintah Pusat sekaligus menjadi aparat Pemerintah Daerah

2) Terdapat 3 (tiga) jenis daerah otonom yaitu:

a) Bekas daerah karesidenan

b) Kabupaten

c) Kota

3) Otonomi Daerah dirumuskan secara sederhana yaitu:

a) Tidak sama dengan otonomi pada masa penjajahan Belanda dan Jepang

b) Lebih luas daripada otonomi pada masa penjajahan Belanda

c) Pembinaan otonomi ditujukan untuk memberikan kebebasan mengatur bagi daerah

Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, pada tanggal 10 Juli1948 ditetapkan UU no.22 tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah.

Menurut UU ini ada 3 (tiga) tingkat daerah otonom yaitu:

a) Propinsi

b) Kabupaten (Kota Besar)

c) Desa (Kota Kecil)

d) Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah Istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul dan di masa itu mempunyai pemerintahan yang istimewa. Kepala/Wakil Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden RI dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dari jaman RI belum terbentuk dan masih menguasai daerahnya.

Menurut UU ini setiap daerah mempunyai 2 (dua) jenis kewenangan yaitu:

a) Otonomi, ialah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya

b) Medebewind (swatantra/tugas pembantuan) ialah hak menjalankan peraturan-peraturan dari Pemerintah Pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah dari pihak atasan tersebut.

Adapun susunan Pemerintah Daerah menurut UU ini adalah:

a) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

b) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Wewenang yang dimiliki DPRD antara lain sebagai berikut:

a) Mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya

b) Menjalankan peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh pihak atasan

c) Membuat peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi dan medebewind

d) Menetapkan anggaran belanja dan pendapatan daerah

e) Memilih anggota-anggota DPD

f) Mencalonkan Kepala Daerah

Ketua DPD adalah Kepala Daerah, yang mempunyai 2 (dua) fungsi pokok yaitu sebagai pengawas pekerjaan DPRD dan DPD dalam hal ini Kepala Daerah adalah sebagai wakil Pemerintah Pusat dan sebagai ketua dan anggota Dewan Pemerintah artinya Kepala Daerah sebagai organ Pemerintah Daerah.

Menurut UU no.22 tahun 1948 ini Pemda ialah DPRD dan DPD (termasuk Kepala Daerah). Kekuasaan Pemda berada di tangan DPRD. DPD bertanggung jawab terhadap DPRD dan dapat dijatuhkan oleh DPRD dengan mosi tidak percaya. Kedudukan Kepala Daerah sangat lemah dan tergantung pada DPRD. Dalam prakteknya UU ini belum dapat dilaksanakan secara baik karena situasi dan kondisi pada waktu itu belum memungkinkan.Perhatian waktu itu tercurah pada usaha-usaha untuk menciptakan kestabilan politik dalam negeri dan mempertahankan kemerdekaan, dimana Belanda berkeinginan untuk kembali menguasai Indonesia sehingga jalannya administrasi pemerintah daerahpun masih tersendat-sendat.

4. ADMINISTRASI PEMERINTAH DAERAH PADA MASA BERLAKUNYA KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT

Usaha untuk memaksakan bentuk federasi di Indonesia mencapai puncaknya dengan dibentuknya Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (Den Haag, tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 Nopember 1949) yang menghasilkan persetujuan:

a) Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat;

b) Penyerahan/pengakuan kedaulatan kepada Negara Republik Indonesia Serikat;

c) Didirikannya Unie antara Negara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.

Negara RIS ini mempunyai Undang-Undang Dasar yang disebut Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sesuai dengan konstitusi RIS tersebut, maka pengaturan mengenai pemerintahan di daerah menjadi wewenang negara-negara bagian. Juga pengaturan mengenai daerah-daerah swapraja menjadi wewenang daerah swapraja tersebut sebagai negara bagian.

Dengan terbentuknya negara RIS, maka negara Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 menjadi salah satu negara bagian Pemerintahan RIS diantara negara-negara bagian yang lain, antara lain seperti Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Sumatera, Negara Jawa Timur.

Negara-negara bagian yang dilebur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang berkedudukan di Yogyakarta) meliputi: Negara-negara bagian Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Madur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan sebagian besar Sumatera (kecuali Negara Sumatera Timur, yang belum dilebur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Timur nantinya).

Bagi negara-negara bagian yang kemudian bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka penyelenggaraan administrasi pemerintahan di daerah menggunakan Undang-undang No.22 Tahun 1948.

Administrasi Pemerintah di Negara Indonesia Timur (NIT)

Sebagai salah satu negara bagian yang berdiri sendiri, Negara Indonesia Timur sempat menerbitkan Undang-undang No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah-daerah Indonesia Timur. Dikatakan sempat di sini, karena Undang-undang ini dibentuk/mulai berlaku tanggal 15 Juni 1950, yakni menjelang terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.

Menurut UU No. 44 Tahun 1950 ini, NIT terbagi atas tiga tingkatan daerah otonomi, yakni:

  1. Daerah;
  2. Daerah Bagian;
  3. Daerah Anak Bagian.

Pada masa itu NIT terdiri dari 13 Daerah, yakni (1) Sulawesi Selatan; (2) Minahasa; (3) Kepulauan Sangihe dan Talaud; (4) Sulawesi Utara; (5) Sulawesi Tengah; (6) Bali; (7) Lombok; (8) Sumbawa; (9) Flores; (10) Sumba; (11) Timor dan kepulauan sekitarnya; (12) Maluku Selatan; (13) Maluku Utara. Sedangkan daerah Bagian dan Daerah Anak Bagian belum pernah terbentuk sampai hapusnya NIT.

Isi UU ini sebagian besar mengambil alih ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1948, antara lain;

- Pemerintah Daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD);

- Kepala Daerah menjabat Ketua dan merangkap anggota DPD;

- Wewenang utama Dewan Pemerintah Daerah adalah menjalankan pemerintahan sehari-hari, dan sebagai keseluruhan atau masing-masing anggota DPD bertanggung jawab kepada DPRD.

5. ADMINISTRASI PEMERINTAH DAERAH PADA MASA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA (UUDS) 1950 ( 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959)

Pada tanggal 17 Agustus 1950 terjadi perubahan yang sangat fundamental dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Negara RIS berubah menjadi NKRI yakni setelah meleburnya negara-negara bagian ke dalam NKRI berdasarkan UU Darurat No.11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan Dari Wilayah Republik Indonesia. NKRI pada masa itu telah mempunyai UUD yang menggantikan Konstitusi RIS dan UUD 1945 (UUD 1945 dalam negara RIS hanya berlaku di wilayah RI sebagai bagian dari RIS) yang kemudian dikenal sebagai Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Pada tanggal 17 Januari 1957 ditetapkan UU no.1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Secara garis besar materi pokok UU no.1 tahun 1957 adalah:

a) Wilayah RI dibagi dalam daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dan yang merupakan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah adalah sebagai berikut:

v Daerah Swatantra Tingkat I termasuk Kotapraja, Jakarta Raya

v Daerah Swatantra Tingkat II, termasuk Kotapraja

v Daerah Swatantra Tingkat III

Istilah teknis “daerah swapraja” mempunyai arti yang sama dengan daerah otonom, pemerintahnya disebut Pemerintahan Daerah Swapraja.

b) Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD), yang merupakan alat perlengkapan daerah yang bertugas dan berkewajiban mengurus rumah tangga daerah. DPRD sebagai lembaga legislatif (pembuat peraturan daerah) dan DPD sebagai sebagai lembaga eksekutif (penyelenggara pemerintahan). Kepala Daerah karena jabatannya adalah Ketua merangkap Anggota DPD.

c) Ada dualisme kepemimpinan pada pemerintah daerah yakni adanya Kepala Daerah Swatantra Tingkat I yang menyelenggarakan tugas desentralisasi sebagai aparat daerah disamping adanya Gubernur sebagai aparat pemerintah pusat yang menyelenggarakan tugas dekonsentrasi. Demikian juga di Daerah Swatantra Tingkat II ada Bupati/Walikotamadya.

d) Mengenai pengawasan terhadap daerah diatur bahwa suatu keputusan daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan oleh:

v Menteri Dalam Negeri untuk Keputusan Daerah Swatantra Tingkat I

v DPD Tingkat I untuk Keputusan Daerah Swatantra Tingkat II

v DPD Tingkat II untuk Keputusan Daerah Swatantra Tingkat III

Selama berlakunya UU no.1/1957 belum pernah dibentuk Daerah Swatantra Tingkat III mengingat faktor-faktor yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan (tingkat pengetahuan, ketrampilan dan sumber pembiayaan misalnya).

6.ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH DALAM KURUN WAKTU KEDUA BERLAKUNYA UUD 1945

Dengan didorong oleh keyakinan keyakinan untuk secara cepat bertindak menyelamatkan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden mengeluarkan Dekrit yang secara garis besar berisi:

1) Menetapkan pembubaran Konstituante

2) Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi dan menetapkan tidak berlakunya UUDS 1950

3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)

Dalam perkembangannya Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden no.6 tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah dan Penetapan Presiden no.5 tahun 1960 tentang DPRD Gotong Royong dan Sekretariat Daerah yang pada garis besarnya berisi antara lain:

1) Pimpinan Pemerintah Daerah secara manunggal (tidak dualistis) yakni menempatkan Kepala Daerah sebagai alat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sekaligus. Kepala Daerah diberi kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan Kepala Daerah tidak bertanggungn jawab kepada DPRD tetapi kepada Pemerintah Pusat.

2) Dibentuk DPRD di setiap Pemda yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya dengan komponen-komponen yang terdiri dari; ABRI, Veteran, Ulama dan kelompok-kelompok keahlian berdasarkan profesi.

3) Ketua DPRGRadalah Kepala Daerah. DPRGR dalam mengambil keputusan berdasarkan musyawarah dengan suara bulat dan jika tidak berhasil maka dikembalikan kepada Kepala Daerah untuk diputuskan.

4) Pada setiap Pemda dibentuk Badan Pemerintah Daerah yang diketuai oleh Kepala Daerah. BPD merupakan badan penasehat dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Merupakan pengganti peran DPD dari UU no.1/1957.

5) Adanya kehendak yang menjunjung tinggi kepentingan nasional dengan tetap menjaga kestabilan Pemda.

Undang-undang no.18 tahun 1965

UU ini mencabut peraturan perundangan sebelumnya yaitu UU no.1/1957; Penetapan Presiden no.6/1959 dan no.5/1960. Menurut UU ini wilayah RI terbagi habis dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam 3 (tiga) tingkatan yaitu:

1) Propinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I

Kotaraya adalah Ibukota Negara RI Jakarta sebagaimana ditetapkan dalam UU no. 10/1964 tentang ibukota RI.

2) Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II

3) Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III

Yang dimaksud desapraja adalah “ kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri”

Pemda terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Kepala Daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian.

Menurut UU ini Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh:

1) Presiden bagi Daerah Tingkat I

2) Mendagri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah Tingkat II

3) Kepala Daerah Tingkat I dengan persetujuan Mendagri bagi Daerah Tingkat III yang ada dalam Daerah Tingkat I.

Kepala Daerah mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu sebagai alat pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagai alat Pemerintah Pusat Kepala Daerah mempunyai fungsi antara lain:

1) Memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisionil dalam pemerintahan daerahnya

2) Mengkoordinasikan kegiatan instansi-instansi Pemerintah Pusat di Daerah dan antara instansi-instansi tersebut dengan Pemda

3) Melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah.

Sebagai alat Pemerintah Daerah Kepala Daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif Pemda baik di bidang urusan rumah tangga daerah maupun tugas pembantuan.

Penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas Pemda dilakukan ole Sekretariat Daerah, yang dipimpin oleh seorang Sekda. Sekda adalah pegawai daerah baik dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat dan Daerah, juga merupakan Sekretaris DPRD serta bertugas pula membantu anggota-anggota Badan Pemerintah Harian.