Sabtu, 14 Januari 2012

Perkembangan Administrasi Pemerintah Daerah Di Indonesia

Pemerintahan daerah di Indonesia mengalami perkembangan yang ditandai dengan berubahnya sistem pemerintahan yang ada. Penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana pemerintahan daerah pada masa sebelum kemerdekaan sampai paska kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan sampai sekarang peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah mengalami beberapa pergantian. Menurut Sarundajang (2005:25) berubahnya sistem pemerintahan dari pusat ke daerah terletak pada pola pikir partisipatif populis. Partisipatif populis menghendaki adanya akses bagi masyarakat untuk bersikap menentukan kehidupan penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, dimana kaum elite harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan kebijakan pemerintahan kepada rakyat dan masyarakat merespon output kebijakan yang telah dilaksanakan. Prinsipnya bahwa pemerintah untuk rakyat bukan Rakyat untuk Pemerintah, jadi pemerintah daerah harus melayani rakyat daerah. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia penulis akan menguraikan dari masa ke masa.

1. MASA HINDIA BELANDA

Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia bukan merupakan suatu negara tetapi merupakan bagian wilayah Pemerintah Negara Belanda yang disebut Hindia Belanda bagian Timur (Nederlands Oost Indie) disamping adanya Hindia Belanda bagian Barat (Nederlands West Indie) yaitu Suriname dan kepulauan sekitarnya.

Sebagai daerah jajahan, Indonesia tunduk kepada hukum yang dibuat oleh Pemerintah Negeri Belanda baik hukum dasarnya maupun peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaannya baik yang dibuat di Belanda maupun Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.

Hukum Dasar Belanda disebut Undang-undang Dasar (Grondswet) yang berlaku dan mengikat seluruh penduduk baik rakyat Belanda sendiri maupun rakyat Indonesia. Peraturan pelaksanaan UUD (Wet) dibuat oleh Parlemen Belanda yang terdiri dari kamar ke dua (Tweede Kamer) dan kamar ke satu (Eerste Kamer) yang terkenal dengan nama Staten General. Peraturan Pelaksanaan dari suatu Undang-undang dilakukan dengan Peraturan Pemerintah Negeri Belanda yang disebut Regelling Reglement (RR). Peraturan Pelaksanaan dapat juga disebut dengan Keputusan Raja (Koningklijke Besluit).

Sistem pemerintahan Hindia Belanda peda waktu itu dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Sistem Pemerintahan Sentralistis

Dalam pembentukan Pemerintah Daerah di Hindia Belanda waktu itu dianut 2 (dua) cara yaitu daerah langsung dan daerah tidak langsung.

1) Pemerintahan umum di Nederlandse Indie dijalankan oleh Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda.

2) Daerah Tidak Langsung (Indirect Gebied) artinya tidak langsung diperintah oleh Pemerintah Hindia Belanda. Daerah-daerah ini adalah berbentuk pemerintah kerajaan/kesultanan yang sudah ada. Misalnya: Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Palembang, Deli, Aceh dan sebagainya. Daerah-daerah swapraja ini diberikan kelonggaran untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atau mengurus rumah tangga daerah swpraja sendiri (otonomi) dengan suatu perjanjian politik (Politiek Contract) baik dengan cara kontrak/perjanjian jangka panjang atau kontrak/perjanjian jangka pendek ( Korte Verklaring). Daerah-daerah itu semua mendapat pengawasan dari Pemerintah Hindia Belanda dengan menempatkan pejabat pengawas dengan pangkat Asisten Residen atau Controleur, Residen bahkan sampai Gubernur.

3) Daerah Langsung (Direct Gebied) artinya daerah yang langsung diperintah oleh Pemerintah Hindia Belanda secara terpusat dari Batavia (Jakarta). Daerah jajahan Hindia Belanda dibagi secara hirarkis atas wilayah pemerintahan administratif yang disebut juga sebagai Pemerintahan Pangreh Praja (Gawesten) yaitu:

- Di Jawa dan Madura:

a) Propinsi : Gubernur

b) Karesidenan : Residen (Afdeling)

c) Kabupaten (Regenschap) :Asisten Residen yaitu Bupati (Regent)

d) Kawedanan (District) : Kepala Distrik yaitu Wedana

e) Kecamatan (Onderdistrict) : Kepala Onderdistrict yaitu Asisten Wedana

f) Desa : Kepala Desa

- Di Luar Jawa dan Madura:

a) Propinsi

b) Karesidenan

c) Afdeling

d) Onder Afdeling

e) Kawedanan/District

f) Kecamatan/Onder District

g) Desa/Marga/Kuria/Nagari

Daerah langsung ini pada umumnya berada di Jawa dan Madura. Terdapat juga masyarakat hukum adat yaitu kesatuan masyarakat yang kecil yang disebut desa di Jawa, marga,kuria atau nagari diluar Jawa.

Kepala-kepala persekutuan masyarakat hukum adat ini oleh penguasa Belanda diberi tugas urusan-urusan Pemerintah Pusat tanpa digaji dengan kata lain mereka melaksanakan tugas pembantuan (Medebewind). Jelasnya kepala-kepala persekutuan masyarakat hukum adat tidak melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi, karena mereka bukan alat pemerintah Belanda, tetapi hanya melaksanakan tugas titipan disamping mengatur rumah tangganya sendiri. Penyelenggaraan desentralisasi ini disebut “Desentralisasi Politik” karena pengurusan kepentingan rumah tangganya sendiri didasarkan kehendak dari rakyat secara langsung melalui musyawarah.

Di samping itu adanya persekutuan masyarakat hukum adat yang tidak terikat pada suatu wilayah hukum yang hanya mengurus suatu kepentingan yaitu kepentingan perairan sawah yang dikenal dengan sistem subak di Bali. Mereka diberi kebebasan mengurus rumah tangganya sendiri dalam soal pembagian air, hak dan kewajiban para anggotanya dan sebagainya. Penyelenggaraan desentralisasi ini disebut “Desentralisasi Fungsional” karena adanya pengakuan pada kelompok pengurus yang mengurus kepentingan kelompoknya. Tetapi pemerintah Belanda tidak memberikan dasar hukum yang formal.

Terdapat juga “Desentralisasi Kebudayaan” yaitu pengakuan terhadap kelompok kecil dalam masyarakat yang menyelenggarakan kebudayaan sendiri (pendidikan, agama, dan sebagainya)

b.Sistem Pemerintahan Desentralisasi

Dalam perkembangannya pemerintah Belanda memberikan desentralisasi dengan dikeluarkannya:

a) Decentralisatie Wet 1903, Staablad 1903 no.329

Dimana dengan UU ini pemerintah Belanda membuka kemungkinan pembentukan daerah-daerah otonomi di Indonesia.

b) Decentralisatie Besluit 1905 Stb.1905-137 dan Ordonantie tentang Dewan Daerah 1905 (Locale Raad Ordonantie 1905 Stb.1905-131) yang memungkinkan dibentuknya dewan Perwakilan Rakyat Lokal (Locale Raad). Ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU diatas.

c) Mulai tahun 1922 diselenggarakan reorganisasi pemerintahan daerah dimana di Jawa dan Madura dibentuk daerah-daerah otonom yang disebut Propinsi, Kabupaten dan Kotapraja. Disamping itu masih dibentuk daerah-daerah otonom berdasarkan UU Desentralisasi tahun 1903 yaitu:

v Pembentukan kelompok-kelompok masyarakat dalam satu wilayah administratif yang berada di bawah kekuasaan seorang Residen misalnya Karesidenan Palembang, Karesidenan Sumatera Barat.

v Pembentukan Kotapraja misalnya kotapraja Palembang, Padang, Medan dan Makassar.

Pada dasarnya UU tentang reorganisasi pemerintahan tahun 1922 memberikan kewenangan kepada:

v Gubernur beserta pejabat-pejabat oarang Belanda sebagai alat Pusat Pemerintah Hindia Belanda di samping menjalankan tugas di bidang dekonsentrasi, diberikan kewenangan menjalankan tugas desentralisasi disertai kelengkapan dengan keuangan yang cukup yang disebut “Administratief en Financiele Decentralisati “

v Bupati, walikotamadya beserta pejabat-pejabat pribumi atau pangreh praja diberikan kelonggaran kewenangan disamping melaksanakan tugas dekonsentrasi juga menjalankan tugas desentralisasi.

v Mengikutsertakan unsur-unsur yang progresif di daerah dalam pemda secara intensif dibidang desentralisasi.

2. ADMINISTRASI PEMDA PADA MASA PENDUDUKAN TENTARA JEPANG

Pada masa pendudukan Jepang Indonesia dibagi dalam 3 (tiga) wilayah kekuasaan militer yaitu:

a) Daerah Jawa dan Madura dikuasai Komandan Pasukan Angkatan Darat Jepang yang ke-16 ( Gunseikanbu Jawa ) yang berkedudukan di Jakarta

b) Daerah Sumatra dikuasai oleh Komandan Pasukan Angkatan Darat Jepang yang ke-25 (Gunseikanbu Sumatera) yang berkedudukan di Bukittinggi

c) Wilayah kepulauan lainnya dikuasai Komandan Pasukan Angkatan Laut Jepang (Minseibu) yang berkedudukan di Makassar (Ujung Pandang)

Pemerintahan tertinggi dilakukan oleh perwira tinggi Jepang yang disebut “Saikoo Sikikan”. Di bidang pemerintahan sipil pada prinsipnya Jepang mengikuti struktur pada masa penjajahan Belanda dengan mengganti nama-namanya dalam bahasa Jepang. Perubahan yang ada adalah dihapuskannya wilayah Propinsi dan Gubernurnya, Afdeling dan Asisten Residennya, namun jabatan Residen dan Bupati tetap dipertahankan.

Dalam rangka pelaksanaan tugas dekonsentrasi wilayah Jawa dan Madura dibagi atas:

a) Syuu (Karesidenan) dikepalai oleh seorang Syuu-Cookan (Residen)

b) Si (Kotapraja) dikepalai oleh seorang Si-Coo (Walikota)

c) Ken (Kabupaten) dikepalai oleh seorang Ken-Coo (Bupati)

d) Gun (Distrik) dikepalai oleh seorang Gun-Coo (Wedana)

e) Son (Kecamatan) dikepalai oleh seorang Son-Coo (Camat)

f) Ku (Desa) dikepalai oleh seorang Ku-Coo (Kepala Desa)

Pada masa pendudukan Jepang pada mulanya asas desentralisasi tidak dijalankan. Tetapi dalam perkembangannya kemudian yakni menjelang kekalahannya karena terdesak perlawanan Sekutu, Jepang menghidupkan kembali dewan-dewan daerah untuk menarik simpati rakyat. Dewan Pusat disebut “Cuoo-Sangiin”, Dewan Karesidenan disebut “Syuu-Sangikai” dan dewan untuk kotapraja disebut “Tokubetsu Si Sangikai”. Namun penunjukan atau pemilihan anggota dewan ini tidak demokratis karena hanya sesuai dengan keinginan pemerintahan Jepang saja.

3. ADMINISTRASI PEMDA DALAM KURUN WAKTU PERTAMA BERLAKUNYA UUD 1945 (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949)

Sebelum pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) diwujudkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam rapatnya tanggal 19 Agustus 1945 dalam rangka menertibkan administrasi pemerintah daerah telah menetapkan hal-hal sebagai berikut:

1) Untuk sementara daerah di Negara indonesia dibagi dalam 8 (delapan) Propinsi yang dikepalai oleh seorang Gubernur. Propinsi-propinsi tersebut adalah:

v Jawa Barat

v Jawa Tengah

v Jawa Timur

v Sumatra

v Borneo (Kalimantan)

v Sulawesi

v Maluku

v Sunda Kecil

2) Daerah Propinsi dibagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah

3) Kedudukan Kota (Gementee) diteruskan

Pada tanggal 23 November 1945 telah dikeluarkan UU no.1 tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Dalam masa berlakunya undang-undang ini:

1) Kepala Daerah mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai aparat Pemerintah Pusat sekaligus menjadi aparat Pemerintah Daerah

2) Terdapat 3 (tiga) jenis daerah otonom yaitu:

a) Bekas daerah karesidenan

b) Kabupaten

c) Kota

3) Otonomi Daerah dirumuskan secara sederhana yaitu:

a) Tidak sama dengan otonomi pada masa penjajahan Belanda dan Jepang

b) Lebih luas daripada otonomi pada masa penjajahan Belanda

c) Pembinaan otonomi ditujukan untuk memberikan kebebasan mengatur bagi daerah

Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, pada tanggal 10 Juli1948 ditetapkan UU no.22 tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah.

Menurut UU ini ada 3 (tiga) tingkat daerah otonom yaitu:

a) Propinsi

b) Kabupaten (Kota Besar)

c) Desa (Kota Kecil)

d) Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah Istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul dan di masa itu mempunyai pemerintahan yang istimewa. Kepala/Wakil Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden RI dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dari jaman RI belum terbentuk dan masih menguasai daerahnya.

Menurut UU ini setiap daerah mempunyai 2 (dua) jenis kewenangan yaitu:

a) Otonomi, ialah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya

b) Medebewind (swatantra/tugas pembantuan) ialah hak menjalankan peraturan-peraturan dari Pemerintah Pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah dari pihak atasan tersebut.

Adapun susunan Pemerintah Daerah menurut UU ini adalah:

a) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

b) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Wewenang yang dimiliki DPRD antara lain sebagai berikut:

a) Mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya

b) Menjalankan peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh pihak atasan

c) Membuat peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi dan medebewind

d) Menetapkan anggaran belanja dan pendapatan daerah

e) Memilih anggota-anggota DPD

f) Mencalonkan Kepala Daerah

Ketua DPD adalah Kepala Daerah, yang mempunyai 2 (dua) fungsi pokok yaitu sebagai pengawas pekerjaan DPRD dan DPD dalam hal ini Kepala Daerah adalah sebagai wakil Pemerintah Pusat dan sebagai ketua dan anggota Dewan Pemerintah artinya Kepala Daerah sebagai organ Pemerintah Daerah.

Menurut UU no.22 tahun 1948 ini Pemda ialah DPRD dan DPD (termasuk Kepala Daerah). Kekuasaan Pemda berada di tangan DPRD. DPD bertanggung jawab terhadap DPRD dan dapat dijatuhkan oleh DPRD dengan mosi tidak percaya. Kedudukan Kepala Daerah sangat lemah dan tergantung pada DPRD. Dalam prakteknya UU ini belum dapat dilaksanakan secara baik karena situasi dan kondisi pada waktu itu belum memungkinkan.Perhatian waktu itu tercurah pada usaha-usaha untuk menciptakan kestabilan politik dalam negeri dan mempertahankan kemerdekaan, dimana Belanda berkeinginan untuk kembali menguasai Indonesia sehingga jalannya administrasi pemerintah daerahpun masih tersendat-sendat.

4. ADMINISTRASI PEMERINTAH DAERAH PADA MASA BERLAKUNYA KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT

Usaha untuk memaksakan bentuk federasi di Indonesia mencapai puncaknya dengan dibentuknya Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (Den Haag, tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 Nopember 1949) yang menghasilkan persetujuan:

a) Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat;

b) Penyerahan/pengakuan kedaulatan kepada Negara Republik Indonesia Serikat;

c) Didirikannya Unie antara Negara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.

Negara RIS ini mempunyai Undang-Undang Dasar yang disebut Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sesuai dengan konstitusi RIS tersebut, maka pengaturan mengenai pemerintahan di daerah menjadi wewenang negara-negara bagian. Juga pengaturan mengenai daerah-daerah swapraja menjadi wewenang daerah swapraja tersebut sebagai negara bagian.

Dengan terbentuknya negara RIS, maka negara Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 menjadi salah satu negara bagian Pemerintahan RIS diantara negara-negara bagian yang lain, antara lain seperti Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Sumatera, Negara Jawa Timur.

Negara-negara bagian yang dilebur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang berkedudukan di Yogyakarta) meliputi: Negara-negara bagian Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Madur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan sebagian besar Sumatera (kecuali Negara Sumatera Timur, yang belum dilebur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Timur nantinya).

Bagi negara-negara bagian yang kemudian bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka penyelenggaraan administrasi pemerintahan di daerah menggunakan Undang-undang No.22 Tahun 1948.

Administrasi Pemerintah di Negara Indonesia Timur (NIT)

Sebagai salah satu negara bagian yang berdiri sendiri, Negara Indonesia Timur sempat menerbitkan Undang-undang No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah-daerah Indonesia Timur. Dikatakan sempat di sini, karena Undang-undang ini dibentuk/mulai berlaku tanggal 15 Juni 1950, yakni menjelang terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.

Menurut UU No. 44 Tahun 1950 ini, NIT terbagi atas tiga tingkatan daerah otonomi, yakni:

  1. Daerah;
  2. Daerah Bagian;
  3. Daerah Anak Bagian.

Pada masa itu NIT terdiri dari 13 Daerah, yakni (1) Sulawesi Selatan; (2) Minahasa; (3) Kepulauan Sangihe dan Talaud; (4) Sulawesi Utara; (5) Sulawesi Tengah; (6) Bali; (7) Lombok; (8) Sumbawa; (9) Flores; (10) Sumba; (11) Timor dan kepulauan sekitarnya; (12) Maluku Selatan; (13) Maluku Utara. Sedangkan daerah Bagian dan Daerah Anak Bagian belum pernah terbentuk sampai hapusnya NIT.

Isi UU ini sebagian besar mengambil alih ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1948, antara lain;

- Pemerintah Daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD);

- Kepala Daerah menjabat Ketua dan merangkap anggota DPD;

- Wewenang utama Dewan Pemerintah Daerah adalah menjalankan pemerintahan sehari-hari, dan sebagai keseluruhan atau masing-masing anggota DPD bertanggung jawab kepada DPRD.

5. ADMINISTRASI PEMERINTAH DAERAH PADA MASA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA (UUDS) 1950 ( 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959)

Pada tanggal 17 Agustus 1950 terjadi perubahan yang sangat fundamental dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Negara RIS berubah menjadi NKRI yakni setelah meleburnya negara-negara bagian ke dalam NKRI berdasarkan UU Darurat No.11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan Dari Wilayah Republik Indonesia. NKRI pada masa itu telah mempunyai UUD yang menggantikan Konstitusi RIS dan UUD 1945 (UUD 1945 dalam negara RIS hanya berlaku di wilayah RI sebagai bagian dari RIS) yang kemudian dikenal sebagai Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Pada tanggal 17 Januari 1957 ditetapkan UU no.1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Secara garis besar materi pokok UU no.1 tahun 1957 adalah:

a) Wilayah RI dibagi dalam daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dan yang merupakan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah adalah sebagai berikut:

v Daerah Swatantra Tingkat I termasuk Kotapraja, Jakarta Raya

v Daerah Swatantra Tingkat II, termasuk Kotapraja

v Daerah Swatantra Tingkat III

Istilah teknis “daerah swapraja” mempunyai arti yang sama dengan daerah otonom, pemerintahnya disebut Pemerintahan Daerah Swapraja.

b) Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD), yang merupakan alat perlengkapan daerah yang bertugas dan berkewajiban mengurus rumah tangga daerah. DPRD sebagai lembaga legislatif (pembuat peraturan daerah) dan DPD sebagai sebagai lembaga eksekutif (penyelenggara pemerintahan). Kepala Daerah karena jabatannya adalah Ketua merangkap Anggota DPD.

c) Ada dualisme kepemimpinan pada pemerintah daerah yakni adanya Kepala Daerah Swatantra Tingkat I yang menyelenggarakan tugas desentralisasi sebagai aparat daerah disamping adanya Gubernur sebagai aparat pemerintah pusat yang menyelenggarakan tugas dekonsentrasi. Demikian juga di Daerah Swatantra Tingkat II ada Bupati/Walikotamadya.

d) Mengenai pengawasan terhadap daerah diatur bahwa suatu keputusan daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan oleh:

v Menteri Dalam Negeri untuk Keputusan Daerah Swatantra Tingkat I

v DPD Tingkat I untuk Keputusan Daerah Swatantra Tingkat II

v DPD Tingkat II untuk Keputusan Daerah Swatantra Tingkat III

Selama berlakunya UU no.1/1957 belum pernah dibentuk Daerah Swatantra Tingkat III mengingat faktor-faktor yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan (tingkat pengetahuan, ketrampilan dan sumber pembiayaan misalnya).

6.ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH DALAM KURUN WAKTU KEDUA BERLAKUNYA UUD 1945

Dengan didorong oleh keyakinan keyakinan untuk secara cepat bertindak menyelamatkan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden mengeluarkan Dekrit yang secara garis besar berisi:

1) Menetapkan pembubaran Konstituante

2) Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi dan menetapkan tidak berlakunya UUDS 1950

3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)

Dalam perkembangannya Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden no.6 tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah dan Penetapan Presiden no.5 tahun 1960 tentang DPRD Gotong Royong dan Sekretariat Daerah yang pada garis besarnya berisi antara lain:

1) Pimpinan Pemerintah Daerah secara manunggal (tidak dualistis) yakni menempatkan Kepala Daerah sebagai alat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sekaligus. Kepala Daerah diberi kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan Kepala Daerah tidak bertanggungn jawab kepada DPRD tetapi kepada Pemerintah Pusat.

2) Dibentuk DPRD di setiap Pemda yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya dengan komponen-komponen yang terdiri dari; ABRI, Veteran, Ulama dan kelompok-kelompok keahlian berdasarkan profesi.

3) Ketua DPRGRadalah Kepala Daerah. DPRGR dalam mengambil keputusan berdasarkan musyawarah dengan suara bulat dan jika tidak berhasil maka dikembalikan kepada Kepala Daerah untuk diputuskan.

4) Pada setiap Pemda dibentuk Badan Pemerintah Daerah yang diketuai oleh Kepala Daerah. BPD merupakan badan penasehat dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Merupakan pengganti peran DPD dari UU no.1/1957.

5) Adanya kehendak yang menjunjung tinggi kepentingan nasional dengan tetap menjaga kestabilan Pemda.

Undang-undang no.18 tahun 1965

UU ini mencabut peraturan perundangan sebelumnya yaitu UU no.1/1957; Penetapan Presiden no.6/1959 dan no.5/1960. Menurut UU ini wilayah RI terbagi habis dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam 3 (tiga) tingkatan yaitu:

1) Propinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I

Kotaraya adalah Ibukota Negara RI Jakarta sebagaimana ditetapkan dalam UU no. 10/1964 tentang ibukota RI.

2) Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II

3) Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III

Yang dimaksud desapraja adalah “ kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri”

Pemda terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Kepala Daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian.

Menurut UU ini Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh:

1) Presiden bagi Daerah Tingkat I

2) Mendagri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah Tingkat II

3) Kepala Daerah Tingkat I dengan persetujuan Mendagri bagi Daerah Tingkat III yang ada dalam Daerah Tingkat I.

Kepala Daerah mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu sebagai alat pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagai alat Pemerintah Pusat Kepala Daerah mempunyai fungsi antara lain:

1) Memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisionil dalam pemerintahan daerahnya

2) Mengkoordinasikan kegiatan instansi-instansi Pemerintah Pusat di Daerah dan antara instansi-instansi tersebut dengan Pemda

3) Melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah.

Sebagai alat Pemerintah Daerah Kepala Daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif Pemda baik di bidang urusan rumah tangga daerah maupun tugas pembantuan.

Penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas Pemda dilakukan ole Sekretariat Daerah, yang dipimpin oleh seorang Sekda. Sekda adalah pegawai daerah baik dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat dan Daerah, juga merupakan Sekretaris DPRD serta bertugas pula membantu anggota-anggota Badan Pemerintah Harian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar